Tidak salah ketika banyak orang mengatakan bahwa birokrasi melakukan perselingkuhan dengan para pengusaha. Tidak salah juga ketika aktifis-aktifis berteriak di jalan dengan mneyerukan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat kita. Masyarakat sudah mulai gerah dengan tindakan perselingkuhan pengusaha dengan birokrasi. Ini dikarenakan bagi kita semua birokrasi merupakan representasi dari negara Indonesia. Maka ketika birokrasi melakukan penindasan terhadap rakyatnya, maka persepsi yang muncul adalah negara menindas dan mengeksplotasi rakyatnya.
Isu tersebut sebenarnya tidak asing lagi di telinga masyarakat kita. namun tidak ada tindakan yang signifikan untuk menyelesikan masalah itu. fenomena tersebut sedah menjadi rahasia umum. sepertidah terbiasa untuk yang kita ketahui dengan fenomena yang bisa langsung kita lihat adalah "lumpur lapindo" yang tidak ada ujung pangkalnya sampai detik ini. masayrakat sudah terbiasa mendengarnya sehingga mengganggap biasa-biasa saja kasus tersebut.
baru-baru ini, saya juga menemui kejadian perselingkuhan birokrasi dengan pengusaha yang sedikit merepotkan masyarakat sekitar. saat itu, senin (20/10) di daerah gondang legi tepatnya di sepanjang jalan menuju pabrik gula Krebet. lebih dari 20 buah truk yang melintas dengan kecepatan kurang lebih di bawah 40 km/jam. sehingga membuat jalan lumpuh alias macet total . coba anda bayangkan hal itu sangat merugikan masyarakat khususnya para pengguna jalan. sagat ironis, harusnya yang mendapatkan hak penuh atas penggunaan jalan adalah para pengguna jalan karena mereka membayar pajak untuk negara. hanya karena kepentingan perusahaan, aktifitas sebagian besar masyarakat terganggu. Pengguna-pengguna jalan yang ada di samping saya mengumpat dan marah-marah.
"kita yang bayar pajak, tapi mereka yang menikmati fasilitas jalan...." salah satu bentuk umpatan dari arah belakang. sungguh ironis memang kondisi bangsa kita. terlalu banyak permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas oleh negara. karena negara kita sedang carut marut....(Ln)
Kamis, 23 Oktober 2008
Jumat, 15 Agustus 2008
PEREMPUAN DALAM BALUTAN KONSTRUKSI
Perempuan semakin hari akan semakin kerepotan untuk melindungi tubuhnya dari banyak faktor yang bisa menggendalikan tubuhnya. Bukan hanya kekerasan fisik, psikis maupun seksual saja yang bisa merongrong independensi tubuh perempuan. Bnyak hal yang bisa menghegemoni bahkan menguasai tubuh perempuan. Hal ini disebabkan hampir seluruh penduduk dunia sepakat bahwa perempuan merupakan makhluk kedua (second sex) dan hanya memiliki peran kedua setelah laki-laki. Salah satu instrumen yang membuat perempuan menjadi the other dan komoditas industrialisasi adalah konstruksi media massa.
Hampir seluruh media massa mengonstruksikan perempuan sebagai manusia yang stereotype dan inferior. Begitu juga konstruksi klasifikasi antara perempuan dunia ketiga dengan negara maju. Ketika kita melihat dalam kemasan media, iklan semisal, perempuan dikonstruksikan layaknya perempuan Eropa dan Amerika. Sehingga bentuk perempuan yang ideal adalah yang seperti digambarkan di televisi maupun majalah atau media yang lainnya. Kutih putih, rambut lurus dan berwarna, badan kurus, tinggi semampai, memakai make up merupakan hasil konstruksi media.
Bisa dikatakan bahwa kiblat dari bentuk perempuan yang ideal melalui media adalah perempuan Eropa dan Amerika. Dengan adanya fenomena yang demikian, semakin membuat perempaun mendikotomikan perempuan negara ketiga dan negara maju. Sehingga perempuan tidak memiliki kekuasaan sepenuhnya atas kepemilikan tubuh. Artinya bahwa, hanya perempuan yang ideal menurut konstruksi media-lah adalah yang layak ditiru dan disepakati. Secara otomatis perempuan semakin bergantung kepada laki-laki atas hidup dan tubuhnya.
Kuasa laki-laki dan patriarkhi akan semakin langgeng ketika perempuan masih menuruti konstruksi dan tidak memiliki independensi atas kepemilikan tubuhnya. Perempuan yang menjadi korban atas konstruksi adalah perempuan dunia ketiga, sekaligus menjadi sasaran empuk kapitalisme. Mereka menjadi komoditas industrialisasi atas produk untuk membenahi dirinya sendiri. Secara tidak langsung perempuan meng-iya-kan dan melanggengkan patriarkhi. Hal ini dikarenakan semua kesepakatan dilakukan oleh para laki-laki sebagai kaum superior. Dalam dunia patriarkhi yang memiliki otoritas penuh adalah laki-laki, karena mereka adalah pemimpin atas segalanya. Maka dengan gegap gempita perempuan hendaklah mulai mencoba untuk mendefinisikan dirinya sendiri tanpa memasrahkan otoritas dirinya kepada kondisi dan keadaan. (Ln)
Selasa, 12 Agustus 2008
PENDIDIKAN TELANJANG KAKI
Untuk mendapatkan status sosial yang tinggi secara otomatis dibutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi pula. Agar kondisi perekonomian membaik dibutuhkan strata pendidikan yang lebih tinggi. begitu juga sebaliknya, untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi juga harus dibayar dengan biaya yang tidak sedikit. Siklus dari semuanya adalah ketika mempunyai uang dan memiliki strata pendidikan yang tinggi maka manusia akan mendapatkan kekuasan untuk menggenggam
hidup banyak orang.
Namun, ketika menengok lebih jauh di daerah pelosok dan pinggiran kota rasanya pendidiakan bukan merupakan hal utama yang harus dibekalkan kepada anak. Mungkin ini adalah permasalahan yang klasik dan klise. Tapi problematika untuk menanamkan pentingnya pendidikan masih juga belum terurai. Tengok saja di desa Kebobang Kabupaten Malang, siang tadi saat saya berjalan-jalan ke desa tersebut, rasanya hati terasa miris ketika melihat lima anak perempuan berseragam merah putih saling bergandeng tangan dengan menenteng sepatu mereka. Mereka berjalan dengan telanjang kaki di bawah teriknya matahari. Dalam benak saya, mereka pastinya belum memahami hakekat pentingnya mengenyam pendidikan.
Mengayunkan kaki telanjang merupakan sebuah pengorbanan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sehingga mereka bisa mengubah kondisi perekonomian keluarga mereka. Atau mungkin mereka bisa menaikkan starata sosial keluarganya. Hal ini sangat ironis sekali, betapa tidak biaya pendidikan sangat melambung. Rasanya bagi orang miskin pendidikan hanyalah khayalan. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) juga tidak tepat sasaran, APBN 20 % bagi pendidikan juga tidak terealisasikan. Bagaimana Indonesia bisa mengubah fenomena para siswa yang telah mengorbankan kakinya di bawah panah matahari untuk hanya sekedar mendapatkan pendidikan? Rakyat Indonesia saat ini hanya membutuhkan keadilan khususnya di bidang pendidikan, baik berupa sistem dan kurikulum pendidikan yang jelas dan berbobot hingga biaya operasional pendidikan khususnya bagi rakyat miskin. Pendidikan bagi orang miskin adalah oase musafir yang terdampar di padang pasir.
Minggu, 20 Juli 2008
KRITIK TERHADAP FEMINISME INDONESIA
http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://1.bp.blogspot.com
Feminisme ternyata bukan solusi bagi perempuan Indonesia. Seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan perempuan saat ini, gerakan feminisme di Indonesia tidak memberikan jalan keluar atas kekompleksan masalah tersebut. Tubuh perempuan Indonesia masih terlilit oleh kapitalisme, kekerasan masih menggerogoti tubuh dan kehidupan perempuan, belum lagi diskriminasi dan marjinalisasi yang sampai saat ini masih menguasai tubuh perempuan. Penyebab utama langgengnya ketidakadilan terhadap perempuan adalah mengakarnya budaya patriarkhi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dan hal tersebut merupakan legitimasi untuk menghegemoni tubuh dan kehidupan perempuan.
Saat ini, perempuan masih belum mampu untuk mempraktikan gerakan feminisme di Indonesia. Pasalnya, nyaris seluruh perempuan di Indonesia masih buta akan gender. Program pengarus utamaan gender yang dilakuakn oleh pemerintah dan NGO dalam kehidupan sehari-hari pun tidak bisa berjalan maksimal, karena faktor ekonomi masyarakat Indonesia. Sehingga, bagaimana bisa perempuan berjuang dengan menggunakan gerakan feminisme? Masih juga belum dipahami secara konkrit oleh sebagian besar perempuan Indonesia bahwa tubuh perempuan adalah medan perang untuk meraih kebebasan, melalui tubuhnyalah penindasan di lakukan. Perempuan adalah objek seks, dikorbankan dan dilumpuhkan. Simon de Beauvoir berpendapat bahwa “one is not born, rather becomes, a woman.” Perempuan tidak semata-mata dilahirkan, perempuan adalah proses menjadi. Dan proses menjadi tersebut tidak pernah berakhir.
Pernyataan Beauvoir tersebutlah yang belum bisa dipahami secara holistik oleh perempuan Indonesia. Hakikatnya, perempuan memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai perempuan seutuhnya dan melibas ketidakadilan. Bukan sebaliknya, saat ini justru perempuan merupakan objek dan bukan subjek dalam menjadikan tubuh dan hidupnya. Semuanya tidak lepas dari pembatasan peran perempuan oleh laki-laki melalui tangan patriarkhi. Permasalahan politik, HAM, hukum, ekonomi, lingkungan, pendidikan bahkan keluarga dan perkawinan nyaris dikuasai oleh laki-laki. Sehingga perempuan tidak memiliki ruang aktualisasi diri yang luas untuk mengembangkan dirinya.
Sebenarnya feminisme cukup membantu mengentaskan perempuan dari kekompleksan masalah yang sedang dialami. Namun, perempuan Indonesia masih belum siap untuk mengusung gerakan feminisme. Hanya kalangan tertentu yang paham benar akan fungsi dan identitas gerakan feminisme. Namun, ketika kita membuka pandangan kita, jauh di pelosok-pelosok negeri masih terhampar ribuan perempuan yang masih gagap akan gender. Permasalahan mendasar setelah patriarkhi adalah diri perempuan itu sendiri. Terkadang mereka tidak sadar, bahwa dirinya telah dikuasai oleh patriarkhi. Sungguh sangat halus sekali doktrin patriarkhi terhadap perempuan, sehingga perempuan ternina-bobokan dengan alasan kondisi dan kodrat.
Walapun Julia Kriteva telah mengkalisfikasikan gelombang feminisme menjadi tiga tahap, tetap Indonesia masih belum bisa merumuskan arah gerakan feminismenya secara konkrit dan menyuarakan gaungnya. Dari gelombang pertama feminisme egalitarian yang bertujuan menghapus kelas, Indonesia masih belum bisa menyikapi penghapusan kelas. Jangankan kelas perempuan dan laki-laki, penghapusan kelas proletar dan borjuis masih belum bisa dilakukan sehingga dampaknya adalah semakin langgengnya kapitalisme. Pada gelombang kedua yang menekankan radikalisme, Indonesia bisa dipastikan tidak akan pernah bisa mengusung gerakan ini. Pasalnya, pluralitas dan adat ketimuran masih menjadi pondasi bagi madyarakat Indonesia. Sehingga hal tersebut naif sekali untuk diterapkan di Indonesia. Kemungkinan terbesar, gerakan feminisme Indonesia akan mengarah kepada gerakan feminisme gelombang ketiga. Hal ini disebabkan pada gelombang ini, gerakan mengarah pada desakan eksistensi yang paralel yang mampu mengkaloborasikan dengan budaya setempat.
Walaupun kemungkinan gerakan feminisme di Indonesia mengarah kepada gelombang ketiga, namun hingga saat ini para feminist masih berjalan di atas rel masing-masing. Artinya bahwa, mereka menampakkan diri dan berjuang untuk eksistensi masing-masing aliran. Sehingga terkesan, yang terjadi saat ini bukan memerangi patriarkhi dan ketidakadilan terhadap perempuan akan tetapi memerangi aliran satu dengan yang lainnya. Hal pertama harus yang dilakuakan bagi para feminist Indonesia adalah malakukan penyatuan persepsi gerakan dalam kerangka feminisme. Agar tidak terkesan saling tikam antara aliran feminisme yang satu dengan yang lain. Bagaimana gerakan feminisme bisa dilakukan di Indonesia jika gerakan feminisme belum terarah dan kesadaaran gender belum terbetuk? Mungkin kita harus berterima kasih kepada feminist terdahulu karena mampu menggaungkan ketertindasan terhadap perempuan. Akan tetappi, permasalahan saat ini tidak bisa disamakan dengan latar belakang terdahulu. Seperti Gerwani di Indonesia misalnya, mereka sangat giat untuk memperjuangkan hak perempuan. Namun, karena politik patriarkhi mereka tersingkirkan oleh penguasa dengan dalih bahwa gerwani adalah komunis. Begitu juga dengan gerakan mawar putih yang saat ini sangat eksis. Pemerintah dan pemilik kepentingan lain mengatakan bahwa gerakan mereka adalah gerakan yang tidak memiliki latar belakang.
Gadis Arivia mengatakan bahwa feminisme sebuah kata hati. Ini artinya bahwa gerakan feminisme Indonesia saat ini membutuhkan kesadaarn gerakan untuk menyatukan persepsi gerakan. Sehingga permasalahan yang paling mendasar perempuan bisa diminimalisisr bahkan dihilangkan dari bumi Indonesia. Gerakan feminisme di Indonesia akan bergulir secara masif apabila minimal separuh penduduk perempuan Indonesia paham benar akan gender dan posisi dirinya dalam ruang manapun. Dengan demikian class action bisa dilakuakan seperti yang pernah terjadi di Perancis dan Amerika Serikat. Faktor lain adalah peran serta pemerintah, tidak hanya merumuskan kebijakannya saja. Akan tetapi implementasi kebijakan di lapangan merupakan indikasi dari keberhasilan formulasi kebijakan yang telah mereka buat. Seprti halnya UU KDRT atau trafficking masih belum bisa dilakukan secara tegas. Hukum di Indonesia terlalau lembek untuk kepentingan perempuan. Selalu saja hukum ditunggangi oleh pemilik modal dan pemilik modal adalah laki-laki. Meski demikian laki-laki bukanlah common enemy (musuh bersama) perempuan. Gerakan feminisme bisa bergulir secara masif ketika laki-laki mau menyadari dengan lantang dan jantan akan eksistensi tubuh perempuan. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini laki-laki merupakan pemegang kuasa atas kehidupan perempuan. Sehingga perlawanan yang harus dilakukan adalah bukan dengan menumpas laki-laki melainkan merombak sistem yang telah terbentuk dan menjadi warisan Indonesia. (Ln)
Langganan:
Postingan (Atom)