Jumat, 15 Agustus 2008

PEREMPUAN DALAM BALUTAN KONSTRUKSI


Perempuan semakin hari akan semakin kerepotan untuk melindungi tubuhnya dari banyak faktor yang bisa menggendalikan tubuhnya. Bukan hanya kekerasan fisik, psikis maupun seksual saja yang bisa merongrong independensi tubuh perempuan. Bnyak hal yang bisa menghegemoni bahkan menguasai tubuh perempuan. Hal ini disebabkan hampir seluruh penduduk dunia sepakat bahwa perempuan merupakan makhluk kedua (second sex) dan hanya memiliki peran kedua setelah laki-laki. Salah satu instrumen yang membuat perempuan menjadi the other dan komoditas industrialisasi adalah konstruksi media massa.


Hampir seluruh media massa mengonstruksikan perempuan sebagai manusia yang stereotype dan inferior. Begitu juga konstruksi klasifikasi antara perempuan dunia ketiga dengan negara maju. Ketika kita melihat dalam kemasan media, iklan semisal, perempuan dikonstruksikan layaknya perempuan Eropa dan Amerika. Sehingga bentuk perempuan yang ideal adalah yang seperti digambarkan di televisi maupun majalah atau media yang lainnya. Kutih putih, rambut lurus dan berwarna, badan kurus, tinggi semampai, memakai make up merupakan hasil konstruksi media.


Bisa dikatakan bahwa kiblat dari bentuk perempuan yang ideal melalui media adalah perempuan Eropa dan Amerika. Dengan adanya fenomena yang demikian, semakin membuat perempaun mendikotomikan perempuan negara ketiga dan negara maju. Sehingga perempuan tidak memiliki kekuasaan sepenuhnya atas kepemilikan tubuh. Artinya bahwa, hanya perempuan yang ideal menurut konstruksi media-lah adalah yang layak ditiru dan disepakati. Secara otomatis perempuan semakin bergantung kepada laki-laki atas hidup dan tubuhnya.


Kuasa laki-laki dan patriarkhi akan semakin langgeng ketika perempuan masih menuruti konstruksi dan tidak memiliki independensi atas kepemilikan tubuhnya. Perempuan yang menjadi korban atas konstruksi adalah perempuan dunia ketiga, sekaligus menjadi sasaran empuk kapitalisme. Mereka menjadi komoditas industrialisasi atas produk untuk membenahi dirinya sendiri. Secara tidak langsung perempuan meng-iya-kan dan melanggengkan patriarkhi. Hal ini dikarenakan semua kesepakatan dilakukan oleh para laki-laki sebagai kaum superior. Dalam dunia patriarkhi yang memiliki otoritas penuh adalah laki-laki, karena mereka adalah pemimpin atas segalanya. Maka dengan gegap gempita perempuan hendaklah mulai mencoba untuk mendefinisikan dirinya sendiri tanpa memasrahkan otoritas dirinya kepada kondisi dan keadaan. (Ln)

Selasa, 12 Agustus 2008

PENDIDIKAN TELANJANG KAKI


Untuk mendapatkan status sosial yang tinggi secara otomatis dibutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi pula. Agar kondisi perekonomian membaik dibutuhkan strata pendidikan yang lebih tinggi. begitu juga sebaliknya, untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi juga harus dibayar dengan biaya yang tidak sedikit. Siklus dari semuanya adalah ketika mempunyai uang dan memiliki strata pendidikan yang tinggi maka manusia akan mendapatkan kekuasan untuk menggenggam
hidup banyak orang.


Namun, ketika menengok lebih jauh di daerah pelosok dan pinggiran kota rasanya pendidiakan bukan merupakan hal utama yang harus dibekalkan kepada anak. Mungkin ini adalah permasalahan yang klasik dan klise. Tapi problematika untuk menanamkan pentingnya pendidikan masih juga belum terurai. Tengok saja di desa Kebobang Kabupaten Malang, siang tadi saat saya berjalan-jalan ke desa tersebut, rasanya hati terasa miris ketika melihat lima anak perempuan berseragam merah putih saling bergandeng tangan dengan menenteng sepatu mereka. Mereka berjalan dengan telanjang kaki di bawah teriknya matahari. Dalam benak saya, mereka pastinya belum memahami hakekat pentingnya mengenyam pendidikan.


Mengayunkan kaki telanjang merupakan sebuah pengorbanan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Sehingga mereka bisa mengubah kondisi perekonomian keluarga mereka. Atau mungkin mereka bisa menaikkan starata sosial keluarganya. Hal ini sangat ironis sekali, betapa tidak biaya pendidikan sangat melambung. Rasanya bagi orang miskin pendidikan hanyalah khayalan. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) juga tidak tepat sasaran, APBN 20 % bagi pendidikan juga tidak terealisasikan. Bagaimana Indonesia bisa mengubah fenomena para siswa yang telah mengorbankan kakinya di bawah panah matahari untuk hanya sekedar mendapatkan pendidikan? Rakyat Indonesia saat ini hanya membutuhkan keadilan khususnya di bidang pendidikan, baik berupa sistem dan kurikulum pendidikan yang jelas dan berbobot hingga biaya operasional pendidikan khususnya bagi rakyat miskin. Pendidikan bagi orang miskin adalah oase musafir yang terdampar di padang pasir.