Minggu, 20 Juli 2008

KRITIK TERHADAP FEMINISME INDONESIA


http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://1.bp.blogspot.com

Feminisme ternyata bukan solusi bagi perempuan Indonesia. Seiring dengan semakin kompleksnya permasalahan perempuan saat ini, gerakan feminisme di Indonesia tidak memberikan jalan keluar atas kekompleksan masalah tersebut. Tubuh perempuan Indonesia masih terlilit oleh kapitalisme, kekerasan masih menggerogoti tubuh dan kehidupan perempuan, belum lagi diskriminasi dan marjinalisasi yang sampai saat ini masih menguasai tubuh perempuan. Penyebab utama langgengnya ketidakadilan terhadap perempuan adalah mengakarnya budaya patriarkhi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dan hal tersebut merupakan legitimasi untuk menghegemoni tubuh dan kehidupan perempuan.

Saat ini, perempuan masih belum mampu untuk mempraktikan gerakan feminisme di Indonesia. Pasalnya, nyaris seluruh perempuan di Indonesia masih buta akan gender. Program pengarus utamaan gender yang dilakuakn oleh pemerintah dan NGO dalam kehidupan sehari-hari pun tidak bisa berjalan maksimal, karena faktor ekonomi masyarakat Indonesia. Sehingga, bagaimana bisa perempuan berjuang dengan menggunakan gerakan feminisme? Masih juga belum dipahami secara konkrit oleh sebagian besar perempuan Indonesia bahwa tubuh perempuan adalah medan perang untuk meraih kebebasan, melalui tubuhnyalah penindasan di lakukan. Perempuan adalah objek seks, dikorbankan dan dilumpuhkan. Simon de Beauvoir berpendapat bahwa “one is not born, rather becomes, a woman.” Perempuan tidak semata-mata dilahirkan, perempuan adalah proses menjadi. Dan proses menjadi tersebut tidak pernah berakhir.


Pernyataan Beauvoir tersebutlah yang belum bisa dipahami secara holistik oleh perempuan Indonesia. Hakikatnya, perempuan memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai perempuan seutuhnya dan melibas ketidakadilan. Bukan sebaliknya, saat ini justru perempuan merupakan objek dan bukan subjek dalam menjadikan tubuh dan hidupnya. Semuanya tidak lepas dari pembatasan peran perempuan oleh laki-laki melalui tangan patriarkhi. Permasalahan politik, HAM, hukum, ekonomi, lingkungan, pendidikan bahkan keluarga dan perkawinan nyaris dikuasai oleh laki-laki. Sehingga perempuan tidak memiliki ruang aktualisasi diri yang luas untuk mengembangkan dirinya.

Sebenarnya feminisme cukup membantu mengentaskan perempuan dari kekompleksan masalah yang sedang dialami. Namun, perempuan Indonesia masih belum siap untuk mengusung gerakan feminisme. Hanya kalangan tertentu yang paham benar akan fungsi dan identitas gerakan feminisme. Namun, ketika kita membuka pandangan kita, jauh di pelosok-pelosok negeri masih terhampar ribuan perempuan yang masih gagap akan gender. Permasalahan mendasar setelah patriarkhi adalah diri perempuan itu sendiri. Terkadang mereka tidak sadar, bahwa dirinya telah dikuasai oleh patriarkhi. Sungguh sangat halus sekali doktrin patriarkhi terhadap perempuan, sehingga perempuan ternina-bobokan dengan alasan kondisi dan kodrat. 


Walapun Julia Kriteva telah mengkalisfikasikan gelombang feminisme menjadi tiga tahap, tetap Indonesia masih belum bisa merumuskan arah gerakan feminismenya secara konkrit dan menyuarakan gaungnya. Dari gelombang pertama feminisme egalitarian yang bertujuan menghapus kelas, Indonesia masih belum bisa menyikapi penghapusan kelas. Jangankan kelas perempuan dan laki-laki, penghapusan kelas proletar dan borjuis masih belum bisa dilakukan sehingga dampaknya adalah semakin langgengnya kapitalisme. Pada gelombang kedua yang menekankan radikalisme, Indonesia bisa dipastikan tidak akan pernah bisa mengusung gerakan ini. Pasalnya, pluralitas dan adat ketimuran masih menjadi pondasi bagi madyarakat Indonesia. Sehingga hal tersebut naif sekali untuk diterapkan di Indonesia. Kemungkinan terbesar, gerakan feminisme Indonesia akan mengarah kepada gerakan feminisme gelombang ketiga. Hal ini disebabkan pada gelombang ini, gerakan mengarah pada desakan eksistensi yang paralel yang mampu mengkaloborasikan dengan budaya setempat.

Walaupun kemungkinan gerakan feminisme di Indonesia mengarah kepada gelombang ketiga, namun hingga saat ini para feminist masih berjalan di atas rel masing-masing. Artinya bahwa, mereka menampakkan diri dan berjuang untuk eksistensi masing-masing aliran. Sehingga terkesan, yang terjadi saat ini bukan memerangi patriarkhi dan ketidakadilan terhadap perempuan akan tetapi memerangi aliran satu dengan yang lainnya. Hal pertama harus yang dilakuakan bagi para feminist Indonesia adalah malakukan penyatuan persepsi gerakan dalam kerangka feminisme. Agar tidak terkesan saling tikam antara aliran feminisme yang satu dengan yang lain. Bagaimana gerakan feminisme bisa dilakukan di Indonesia jika gerakan feminisme belum terarah dan kesadaaran gender belum terbetuk? Mungkin kita harus berterima kasih kepada feminist terdahulu karena mampu menggaungkan ketertindasan terhadap perempuan. Akan tetappi, permasalahan saat ini tidak bisa disamakan dengan latar belakang terdahulu. Seperti Gerwani di Indonesia misalnya, mereka sangat giat untuk memperjuangkan hak perempuan. Namun, karena politik patriarkhi mereka tersingkirkan oleh penguasa dengan dalih bahwa gerwani adalah komunis. Begitu juga dengan gerakan mawar putih yang saat ini sangat eksis. Pemerintah dan pemilik kepentingan lain mengatakan bahwa gerakan mereka adalah gerakan yang tidak memiliki latar belakang.


Gadis Arivia mengatakan bahwa feminisme sebuah kata hati. Ini artinya bahwa gerakan feminisme Indonesia saat ini membutuhkan kesadaarn gerakan untuk menyatukan persepsi gerakan. Sehingga permasalahan yang paling mendasar perempuan bisa diminimalisisr bahkan dihilangkan dari bumi Indonesia. Gerakan feminisme di Indonesia akan bergulir secara masif apabila minimal separuh penduduk perempuan Indonesia paham benar akan gender dan posisi dirinya dalam ruang manapun. Dengan demikian class action bisa dilakuakan seperti yang pernah terjadi di Perancis dan Amerika Serikat. Faktor lain adalah peran serta pemerintah, tidak hanya merumuskan kebijakannya saja. Akan tetapi implementasi kebijakan di lapangan merupakan indikasi dari keberhasilan formulasi kebijakan yang telah mereka buat. Seprti halnya UU KDRT atau trafficking masih belum bisa dilakukan secara tegas. Hukum di Indonesia terlalau lembek untuk kepentingan perempuan. Selalu saja hukum ditunggangi oleh pemilik modal dan pemilik modal adalah laki-laki. Meski demikian laki-laki bukanlah common enemy (musuh bersama) perempuan. Gerakan feminisme bisa bergulir secara masif ketika laki-laki mau menyadari dengan lantang dan jantan akan eksistensi tubuh perempuan. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini laki-laki merupakan pemegang kuasa atas kehidupan perempuan. Sehingga perlawanan yang harus dilakukan adalah bukan dengan menumpas laki-laki melainkan merombak sistem yang telah terbentuk dan menjadi warisan Indonesia. (Ln)